Mencari Titik Temu Royalti Musik: Harmoni Antara Seni, Bisnis, dan Keadilan
Setiap kali kita melangkahkan kaki ke dalam restoran yang ramai, butik pertokoan yang modern, atau menyusuri koridor pusat perbelanjaan yang megah, sering kali telinga kita disambut oleh alunan musik. Ia seolah menjadi denyut nadi yang menemani hiruk pikuk aktivitas kita, sebuah latar yang tanpa kita sadari ikut membangun suasana hati. Musik membuat kita nyaman, betah, dan mungkin lebih menikmati momen.
Namun, di balik harmoni yang kita rasakan bersama itu, tersimpan sebuah pertanyaan yang kompleks: bagaimana kita seharusnya menilai kontribusi sebuah lagu dalam sebuah ruang usaha? Inilah pertanyaan yang membawa kita pada diskursus hangat mengenai royalti musik, sebuah isu yang menyentuh hati para seniman sekaligus logika para pelaku usaha.
Sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita menempatkan rasa hormat pada tempatnya. Di satu sisi, kita memiliki para seniman, pencipta lagu, dan musisi. Karya mereka lahir dari talenta, kerja keras, dan curahan jiwa. Adalah sebuah keharusan mutlak bagi kita sebagai bangsa untuk menghargai dan memastikan mereka mendapatkan imbalan yang layak ketika karya mereka memberi nilai tambah. Ini adalah soal keadilan dan keberlangsungan ekosistem kreatif kita.
Di sisi lain, kita memiliki para pelaku usaha dari kafe kecil hingga pusat perbelanjaan besar. Mereka adalah motor penggerak ekonomi, penyedia lapangan kerja, yang setiap hari berhadapan dengan tantangan operasional. Mereka membutuhkan regulasi yang jelas, rasional, dan adil agar dapat terus bertumbuh. Tantangan kita bersama adalah menemukan titik temu yang harmonis di antara dua kepentingan mulia ini.
Mari kita coba membedah persoalan ini secara jernih, dimulai dari fondasi hukumnya. Undang-Undang Hak Cipta kita, dalam Pasal 1 butir 24, mendefinisikan “Penggunaan Secara Komersial” sebagai pemanfaatan karya dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. Secara sederhana, definisi ini memiliki beberapa unsur: ada perbuatan (memutar lagu), ada niat (mendapat keuntungan), dan ada asal keuntungan (dari berbagai sumber, atau karena berbayar). Sampai di sini, semuanya tampak jelas.
Namun, persoalan muncul pada penafsiran frasa “dari berbagai sumber”. Saat ini, frasa ini ditafsirkan secara sangat luas. Keuntungan sebuah restoran dari penjualan makanan, atau keuntungan sebuah mal dari uang sewa tenant, dianggap sebagai bagian dari “sumber” tersebut. Di sinilah, menurut hemat saya, kita perlu berhenti sejenak dan berpikir lebih dalam. Penafsiran ini seolah telah menggeser fokus hukum dari substansi perbuatan (apakah musik itu sendiri diperdagangkan?) menjadi fokus pada tempat usaha (setiap bisnis yang memutar musik dianggap melakukan pelanggaran komersial).
Sebuah penafsiran yang lebih hati-hati dan terukur seharusnya menuntut adanya hubungan sebab-akibat yang lebih langsung. Misalnya, sebuah konser musik yang gratis untuk penonton, namun penyelenggaranya mendapatkan pemasukan dari sponsor yang secara khusus mendukung acara tersebut. Di sini, hubungan antara musik sebagai daya tarik utama dan sumber pendapatan sangatlah nyata. Namun, apakah logika yang sama berlaku pada musik latar?
Mari kita uji dengan sebuah pertanyaan sederhana. Apakah Anda akan batal makan di restoran favorit Anda yang terkenal dengan keenakan makanannya, hanya karena hari itu mereka tidak memutar musik? Apakah Anda akan urung membeli pakaian di sebuah toko di mal hanya karena suasananya hening? Kemungkinan besar tidak. Tujuan utama kita sebagai konsumen sudah jelas, dan musik hanyalah elemen penunjang yang menyenangkan. Menganggapnya sebagai pendorong utama keuntungan terasa seperti sebuah lompatan logika yang terlalu jauh.
Jika penafsiran yang sangat luas ini terus kita terapkan, ada risiko yang tidak kita inginkan bersama. Bisa jadi, para pelaku usaha akan memilih jalan yang paling aman: berhenti memutar lagu-lagu dari musisi kebanggaan kita dan beralih ke musik generik bebas royalti. Bayangkan jika ruang-ruang publik kita tidak lagi diisi oleh harmoni karya anak bangsa. Betapa ruginya para seniman kita yang kehilangan “panggung” promosi paling efektif, dan betapa miskinnya pengalaman kultural kita bersama.
Puncak dari refleksi ini adalah ketika kita menyentuh aspek sanksi pidana yang diatur dalam undang-undang. Dalam hukum pidana, kita diajarkan bahwa hukuman tidak bisa dijatuhkan hanya karena sebuah perbuatan. Harus ada niat jahat yang menyertainya. Perbuatan memutar lagu memang ada, namun apakah niat tulus seorang pemilik kafe untuk membuat tamunya nyaman bisa serta-merta disamakan dengan niat jahat seorang pembajak? Tentu tidak. Ketika niat untuk memperdagangkan karya cipta secara ilegal tidak ada, maka mengancam para pelaku usaha dengan sanksi pidana terasa kurang sejalan dengan rasa keadilan.
Hukuman pidana selayaknya menjadi senjata pamungkas untuk kejahatan yang sesungguhnya, bukan untuk persoalan yang berada di wilayah abu-abu penafsiran hukum perdata. Dialog yang konstruktif adalah kunci. Sudah saatnya pemerintah, lembaga terkait, para seniman, dan perwakilan dunia usaha duduk bersama. Bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk mencari jalan tengah yang arif: merumuskan aturan main yang melindungi hak para seniman secara efektif, tanpa membebani sektor usaha dengan kewajiban yang lahir dari penafsiran yang berpotensi melukai logika dan rasa keadilan kita bersama.


Comment