Kasus Nenek Dirantai di Palu: Kecemasan, Keterbatasan, dan Kebutuhan Edukasi
Kasus seorang nenek berusia 95 tahun yang dirantai di pohon di halaman rumahnya di Jalan Tolambu, Kelurahan Kamonji, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, menjadi perhatian publik setelah viral di media sosial. Video pendek yang beredar di platform seperti X dan TikTok menunjukkan nenek tersebut dalam kondisi yang menimbulkan kekhawatiran bagi banyak orang.
Banyak warganet menganggap tindakan keluarga sebagai bentuk penyiksaan, bahkan menyebut keluarga tidak manusiawi. Namun, setelah penyelidikan dilakukan oleh pihak berwajib, fakta yang muncul jauh berbeda dari dugaan awal. Polisi memastikan bahwa penggunaan rantai bukanlah bentuk kekerasan, melainkan upaya menjaga keselamatan lansia yang mengalami demensia berat.
Penjelasan dari Pihak Berwenang
Kapolsek Palu Barat, Iptu Makmur Johan, menjelaskan bahwa nenek yang memiliki inisial S memang sudah lama menderita demensia. Rantai sepanjang 20 meter itu dipasang untuk memastikan bahwa sang nenek tetap bisa bergerak bebas di area halaman rumah tanpa risiko tersesat. Sebelumnya, S pernah hilang selama seminggu karena berjalan tanpa arah dari rumah.
Setelah video tersebut viral, polisi memastikan bahwa rantai telah dilepas, dan kini nenek S dalam kondisi sehat serta terawasi dengan baik oleh keluarganya. Kasus ini tidak hanya menyentuh hati banyak orang, tetapi juga membuka mata tentang tantangan merawat lansia dengan kondisi demensia, terutama di lingkungan keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi dan pengetahuan medis.
Tantangan Merawat Orang Tua dengan Demensia
Merawat orang tua adalah bentuk bakti tertinggi bagi banyak keluarga di Indonesia. Namun, ketika mereka mengalami pikun atau demensia, cinta itu kerap diuji dengan cara yang tidak mudah. Demensia bukan sekadar lupa; kondisi ini menyebabkan penurunan fungsi otak yang memengaruhi ingatan, kemampuan berpikir, bahkan perilaku.
Menurut dr. Czeresna Heriawan Soedjono, SpPD-K.Ger, spesialis geriatri, orang dengan demensia sering kali menyampaikan keinginan yang tidak masuk akal, seperti ingin “pulang” meskipun sedang berada di rumah sendiri. Dalam situasi seperti ini, penting bagi keluarga untuk tidak membantah, karena hal tersebut dapat memancing emosi dan memperburuk kondisi psikologis penderita.
Cara Menghadapi Permintaan yang Tampak “Aneh”
Alih-alih menolak, keluarga sebaiknya mengalihkan perhatian dengan lembut. Misalnya, saat orang tua meminta pulang, kita bisa menanggapinya dengan kalimat yang menenangkan:
- “Oh iya, Eyang mau pulang ya. Yuk, sambil nunggu taksinya kita minum teh dulu di dapur.”
Pendekatan seperti ini membuat lansia merasa dihargai, tanpa menimbulkan konflik. Di sisi lain, perhatian mereka bisa dialihkan ke aktivitas lain sehingga melupakan permintaan awalnya.
Bahaya yang Mungkin Terjadi pada Lansia dengan Demensia
Meski demensia tidak langsung menyebabkan kematian mendadak atau kegawatdaruratan medis, kondisi ini bisa menimbulkan bahaya tidak langsung. Risiko muncul karena penderita sering kali tidak sadar terhadap kebersihan diri, makan tidak teratur, bahkan lupa minum obat. Akibatnya, mereka rentan terkena infeksi, dehidrasi, atau tersedak saat makan.
Dr. Czeresna menjelaskan bahwa penderita demensia bisa saja tidak mau mandi, makan, atau minum obat, sehingga mudah terinfeksi dan jatuh sakit. Kondisi seperti tersedak makanan atau minuman pun bisa menyebabkan infeksi paru dan sesak napas yang berbahaya.
Oleh karena itu, pendampingan dari keluarga sangat penting. Tidak hanya sekadar menemani, tapi juga memastikan nutrisi, kebersihan, dan keamanan lansia selalu terjaga.
Pelajaran dari Kasus Nenek S
Kasus nenek S di Palu menjadi contoh nyata bagaimana kesalahpahaman publik dapat muncul karena konteks yang hilang. Warganet yang hanya melihat potongan video cenderung menilai dari tampilan luar tanpa memahami latar belakang dan kondisi sebenarnya. Keluarga S bukan tidak peduli, mereka hanya tidak tahu alternatif lain untuk menjaga sang nenek agar tidak tersesat.
Dengan keterbatasan fasilitas dan pengetahuan, tindakan memasang rantai mungkin tampak logis bagi mereka. Namun, peristiwa ini juga menjadi pengingat penting bagi masyarakat dan pemerintah tentang perlunya edukasi dan dukungan bagi keluarga yang merawat lansia dengan gangguan mental seperti demensia.
Solusi dan Rekomendasi
- Edukasi Keluarga: Keluarga perlu dibekali pengetahuan tentang gejala, penanganan, dan komunikasi dengan penderita demensia.
- Pelatihan Perawatan Lansia: Pemerintah daerah bisa menyediakan pelatihan dasar bagi masyarakat tentang cara merawat lansia secara aman dan manusiawi.
- Fasilitas Ramah Lansia: Pusat kesehatan atau posyandu lansia diharapkan lebih aktif dalam pemantauan penderita demensia di lingkungan sekitar.
- Kampanye Literasi Digital: Agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh video viral tanpa memahami konteks.
Pentingnya Bijak dalam Bermedia Sosial
Kasus nenek dirantai anak di Palu menjadi refleksi penting tentang bagaimana dunia digital dapat dengan cepat membentuk opini publik. Dalam hitungan jam, video itu menyebar, dan ribuan komentar muncul, sebagian besar berisi hujatan. Padahal, setelah polisi memberikan klarifikasi, jelas bahwa tindakan keluarga bukanlah kekerasan, melainkan upaya perlindungan yang salah arah namun penuh niat baik.
Kita perlu belajar untuk tidak buru-buru menghakimi dan memastikan informasi yang kita sebarkan telah diverifikasi. Media sosial seharusnya menjadi alat empati, bukan sarana memperkeruh keadaan.
Cinta Tak Selalu Indah, Tapi Selalu Butuh Pemahaman
Kisah nenek S bukan sekadar berita viral. Ia adalah cermin realitas sosial tentang cinta dalam keterbatasan, tentang anak dan cucu yang berusaha melindungi dengan caranya sendiri, meski tampak salah di mata orang lain. Namun, kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya edukasi publik tentang demensia. Bahwa cinta saja tidak cukup; dibutuhkan pengetahuan, kesabaran, dan dukungan sosial untuk benar-benar merawat dengan hati.
Sebab, di balik rantai yang terlihat kejam, sesungguhnya ada ketakutan dan kasih yang tidak selalu mampu diungkapkan dengan cara yang benar.


Comment