Ketakutan Para Penyanyi Profesional Terhadap Ancaman Hukum
Sejumlah penyanyi profesional di kafe, restoran, hotel hingga acara pernikahan mengungkapkan rasa takut mereka dalam menyanyikan lagu-lagu yang bukan ciptaan sendiri. Rina Aprillia, salah satu dari mereka, menjelaskan bahwa kekhawatiran ini muncul karena adanya ancaman hukuman pidana terkait royalti. Hal ini menjadi fokus utama dalam sidang pengujian materi sejumlah pasal UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Dalam sidang tersebut, Rina Aprillia hadir sebagai saksi untuk pemohon perkara nomor 37/ PUU-XXIII/2025. Pemohon perkara terdiri dari lima pelaku pertunjukan yang tergabung dalam grup musik Terinspirasi Koes Plus atau T’Koes Band dan Saartje Sylvia yang dikenal sebagai Lady Rocker pertama.
“Banyak penyanyi lain juga merasakan ketakutan serupa,” ujar Rina dalam sidang di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta. Dalam percakapan di WhatsApp Group, para pelaku seni musik membicarakan kekhawatiran mereka. Mereka khawatir tidak boleh membawakan lagu-lagu dari pencipta yang sedang viral kasusnya. Bahkan ada informasi yang menyebutkan jangan membawakan lagu ciptaan Pencipta A atau Pencipta B.
Akibat dari informasi yang tidak jelas ini, beberapa penyanyi memilih untuk hanya menyanyikan lagu-lagu Barat agar lebih aman. Padahal, mereka sangat senang membawakan lagu-lagu Indonesia karena hal ini bisa meningkatkan popularitas lagu tersebut.
Rina Aprillia, yang telah berprofesi sebagai penyanyi selama 30 tahun, menjelaskan bahwa setiap tampil dalam acara, dia biasanya menyanyikan sekitar 20 lagu dengan honorarium antara Rp 300 ribu hingga Rp 1,5 juta. Namun, jika setiap lagu harus dibayar royalti, dia mengatakan biaya tersebut tidak cukup untuk melakukan hal itu.
Di satu sisi, beberapa penyelenggara acara atau penonton sering meminta Rina untuk membawakan lagu-lagu hits top 40, tembang kenangan, atau lagu tahun 1990-an. Namun, kini Rina merasa khawatir akan terkena masalah hukum jika menyanyikan lagu-lagu ciptaan warga Indonesia, terutama pencipta yang sedang menggugat penyanyi karena membawakan lagu ciptaannya.
Pengalaman Denny Rachman
Hal serupa dialami oleh Denny Rachman, penyanyi profesional sejak 2011. Dia dilarang membawakan lagu dari Anji oleh outlet tempat dia bekerja. Saat itu, Anji sedang bermain biliar di outlet yang sama. Ketika si artis itu datang, manajer outlet langsung menghampiri Denny dan memintanya tidak membawakan lagu Anji. Karena permintaan tersebut, Denny mengikuti instruksi tersebut.
Namun, Denny merasa panik karena harus mengubah daftar lagu yang sudah ia persiapkan. Belum lagi, ia mendapatkan kabar bahwa honorarium akan dipotong untuk membayar royalti. “Saya bukan penyanyi terkenal, tetapi karena pekerja penyanyi kafe seperti saya, lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi terkenal bisa menjadi terkenal dan diingat banyak orang. Tetapi apakah saya harus menerima dampak permasalahan royalti lagu ini? Apakah saya harus membayar royalti, sementara honor saya hanya beberapa ratus ribu rupiah.”
Pandangan Ahli Soal Hak Cipta
Pemohon juga menghadirkan ahli hak cipta Marulam J Hutauruk dan ahli hukum pidana Albert Aries. Albert Aries menilai frasa ‘tanpa hak dan/atau tanpa izin dalam Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta mengandung ketidakharmonisan norma antara sistem izin individual dan mekanisme Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Menurut Albert, dalam Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta tidak mewajibkan setiap pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait untuk menjadi anggota LMK agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan hak cipta dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.
Marulam menjelaskan bahwa pencipta hanya dapat melarang orang lain jika lagunya dibawakan dengan tujuan merugikan kehormatan diri dan merusak reputasi pencipta. Kewajiban memperoleh izin atau lisensi pencipta adalah suatu pengaturan yang ingin memastikan pencipta dapat menerima hak atas pemanfaatan ekonomi dari lagu yang diciptakannya, bukan hak untuk melarang orang menyanyikan lagu dalam suatu pertunjukan.
Perkara Lain yang Diuji
Selain Perkara Nomor 37/PUU-XXIII/2025, sidang pengujian UU Hak Cipta pada Kamis (31/7) digelar sekaligus untuk Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025. Dalam permohonannya, para pemohon terdiri dari Tubagus Arman Maulana atau dikenal Armand Maulana, Nazriel Irham atau akrab disapa Ariel, bersama 27 musisi lainnya sebagai pelaku pertunjukan yang telah berkarya di industri musik Indonesia.
Pengujian berangkat dari beberapa kasus, seperti yang dialami Agnes Monica atau lebih dikenal Agnez Mo. Agnez Mo digugat dan dilaporkan pidana oleh Ari Bias, pencipta dari lagu ‘Bilang Saja’, karena dianggap tidak meminta izin secara langsung dan tidak membayar royalti langsung kepada Ari Bias.
Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun memutus gugatan tersebut dengan menghukum Agnez Mo mengganti rugi Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias. Agnez Mo pun dilaporkan secara pidana ke Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tuduhan pelanggaran Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta.
Sementara itu, pemohon Perkara Nomor 37/PUU-XXIII/2025, T’Koes Band kerap menampilkan lagu-lagu lawas yang dulu dinyanyikan orang lain seperti Koes Plus, D’Mercys, hingga Everly Brothers dan The Beatles. Namun, kemudian T’Koes Band dilarang mempertunjukkan lagu-lagu dari Koes Plus per 22 September 2023 melalui para ahli waris dari Koes Plus.


Comment